OLEH YETTI OKTARINA PRANA
Dulu sekali, lupa tepatnya kapan, tapi hampir pasti lebih dari dua puluh tahun yang lalu, sekilas saya pernah membaca sebuah tulisan tentang “Profesi Ibu Rumah Tangga” yang dilakoni perempuan-perempuan dengan pendidikan formal yang relatif tinggi dan baik, katakanlah Sarjana.
Dalam tulisan itu, dikatakan bahwa perempuan berpendidikan yang menjalani peran sebagai ibu rumah tangga (atau sebaliknya), tidak perlu risau, apalagi merasa rugi karena kita saat ini berada di Era Millennium. Yang mestinya kita siapkan adalah kecakapan kita memberikan pengertian kepada anak-anak, generasi yang akan meneruskan peran kita sekaligus mengambil-alih peran kita dalam (melanjutkan) pembangunan.
Di masa depan, tingkat persaingan diprediksi makin ketat sehinga anak-anak dituntut memiliki daya juang yang lebih keras, Ibu dituntut memiliki peran ekstra dalam mendampingi mereka. Untuk kebutuhan itu, seorang ibu, idealnya, adalah pembimbing sekaligus pendidik. Anak-anak yang hebat lahir dari gemblengan orangtua—termasuk sosok ibu—yang hebat pula.
Dalam tulisan itu dikatakan, perempuan yang memilih “hanya” menjadi ibu rumah tangga dan kebetulan berpendidikan tinggi tidak perlu risau.
Tentu saja bukanlah kerugian menjadi seorang sarjana yang melakoni peran ibu rumah tangga, jika pada akhirnya anak-anak berhasil dimbimbing menjadi pribadi yang siap menghadapi persaingan dan tumbuh berkali-kali lipat lebih hebat dari orangtuanya.
Singkat kata, tulisan tersebut saya baca sampai tuntas dan saya setujui semua poinnya-meskipun sebenarnya muatan tulisan itu sama sekali tidak selaras dengan apa yang menjadi cita-cita saya; tentang bagaimana saya akan mengisi hari depan dan memanfaatkan semua ilmu yang saya tekuni di bangku pendidikan formal.
Ya, ketika itu saya adalah sosok remaja yang sejak awal sudah membuat rencana dan target dalam beberapa skema waktu yang saya yakini akan membawa saya pada capaian karier yang saya inginkan.
Walaupun bukan termasuk mahasiswa dengan nilai sangat memuaskan, saya bersikap supel—setidaknya itu pendapat dari sebagian teman-teman. Saya juga terlibat dalam kegiatan remaja yang positif. Dan sejauh itu, saya merasa saya sudah berjalan sesuai dengan target rencana.
Sampai kemudian … takdir membawa saya berkenalan dengan suami ketika itu masih kuliah semester tujuh. Saya merasakan dan menyaksikan bagaimana Sang Maha Pembolak balik hati mmembawa saya pada ketetapan yang begitu kuat, bahwa laki laki yang baru saja saya kenal, berkat peran dari kedua orangtua kami masing masing ini, akan mampu menjaga, melindungi dan membawa saya menggapai cita-cita itu.
Seketika saya melupakan semua target dan rencana yang telah saya susun sedemikian rupa, dan memutuskan menerima pinangannya kemudian menikah satu tahun kemudian.
Cerita selanjutnya bisa ditebak dengan mudah karena kebetulan perjalanan karier kerumahtanggaan saya sangat normatif.
Hmm … baiklah saya akui, saya adalah satu dari banyak ibu produktif lainnya di Indonesia yang membantu mengagalkan program Keluarga Berencana.
Saya menuntaskan tugas melahirkan ketiga anak kami dalam waktu kurang dari lima tahun.
Dan sampailah saya pada kondisi sama persis seperti tulisan yang pernah saya baca lebih dari dua puluh tahun yang lalu; saya adalah perempuan sarjana yang di rumah saja!
Ketika memulai karier kerumahtanggaan hampir sembilan belas tahun yang lalu, isu emansipasi sudah ramai diperbincangkan tapi sungguh tidak serumit sekarang. Jujur saja, saya sedikit geram dengan ulah oknum perempuan yang mengklaim kalau pendapat-emansipasinya mewakili kedua jenis pilihan. Bagaimana mereka merasa bahwa pilihan mereka lebih baik, lebih mulia, lebih cerdas, lebih tinggi nilai perjuangan dan pengorbanannya dan sebagainya dan sebagainya, menurut saya, sangatlah menyebalkan.
Sebetulnya mereka paham tidak sih kalau kita sekarang ini hidup di alam bebas merdeka? Semua sebetulnya hanya tentang “Kesempatan dan Pilihan”, batin saya.
Banyak kita masih repot dan bersusah payah berdiskusi tentang emansipasi, padahal sejatinya menurut saya ini isu basi!
Emansipasi sudah diceritakan dan di perjuangkan sejak lama sekali oleh R. A. Kartini, dan pula telah dibuktikan dengan gagah berani oleh Malahayati, Cut Nyak Dien, dan banyak penjuang perempuan lainnya.
Emansipasi wanita pun sudah pula di naikkan derajat kepentingannya dengan banyaknya Urusan dan Peraturan Pemerintah yang menjamin pelaksanaan nya.
Emansipasi terlalu tinggi untuk kita pendekkan dengan pendapat kerdil yang menyamakannya dengan kesempatan berkarier.
Baiklah, karena kebetulan saya hanya berprofesi sebagai IRT tanpa karier dan upah, saya suka sedih sambil merinding geram kalau dengan celotehan atau anggapan sebagian kalangan bahwa kami adalah kaum pemalas yang tidak mampu menjawab tantangan emansipasi (Padahal, seharusnya mereka pahamkalau profesi IRT pada banyak situasi membuat kami bahkan harus mencuri curi waktu agar bisa mandi dua kali sehari dan menyisir rambut dengan rapi). Sebaliknya, saya kerap miris kalau mendapati teman-teman sesama IRT yang menganggap pilihannya lebih mulia, lebih berharga, sebab mereka mengutamakan kepentingan keluarga.
Memalukan sekali sebetulnya, karena secara pribadi saya mengenal dengan baik banyak IRT yang juga berkarier dengan begitu konsisten dan memahami konsekuensi atas pilihannya. Mereka bangun lebih pagi karena menjalankan dua tugas sekaligus sebab harusmempersiapkan kebutuhan pagi hari seluruh nggota keluarga sebelum ia larut dalam rutinitas di luar.
Bahkan di antara mereka, ada yang saya kenal sangat baik ibadahnya, sangat mungkin dia juga tidur lebih sedikit karena memelihara salat malamnya dan berdoa lebih khusyuk memohon kebaikan bagi seluruh keluarga nya.
Banyak pula yang rela tidak memanfaatkan waktu liburnya untuk dirinya sendiri, tapi mengubahnya menjadi waktu yang berkualitas baik dengan keluarga, demi mengganti kuantitas waktu yang terpakai karena berkerja.
Lantas pertanyaannya adalah, mana yang lebih tinggi nilai kebaikannya ?
Wanita karier atau IRT ?
Tentu saja tidak ada yang melebihi satu sama lain. Semua sama saja. Karena kita hidup di alam yang merdeka, semua kesempatan terbentang luas di hadapan dan kita pula yang berwenang untuk menentukan pilihan.
Satu hal lagi, sebagai perempuan Indonesia, saya belajar dan mencoba memetik pelajaran dari perjuangan tanpa senjata RA Kartini; bagaimana dengan segala keterbatasan kaum perempuan kala itu, dia melepaskan dirinya dari belenggu dan merajut kesempatan bagi dirinya dan perempuan lain dalam lingkungannya, dan itu seharusnya menjadi semangat yang tidak habis ditelan masa.
Pertanyaan selanjutnya adalah, Apakah kita (pantas) disebut (penerus) Kartini?
Jangan lupa, Kartini tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi juga perempuan lain dalam lingkungannya dengan suka dan rela.
Kalau selama ini kita hanya mampu menjawab tantangan kesempatan dan menentukan pilihan dengan manfaat untuk diri sendiri, sangat mungkin kita bukan Kartini.(*)