O P I N I
Pers yang merupakan bagian dari civil society yang artinya berdiri sebagai entisitas yang berada di luar lingkup state( kekuasaan).
*****
PENULIS : Mukhlis, M I Kom
Dosen Komunikasi Politik STAI Lubuklinggau
*****
Pers sebagai civil sosiety yang menjalankan fungsi kekuasaan ke empat di dalam sebuah sistem negara demokrasi, setelah executif, legislatif dan yudikatif. Agar mendapatkan porsi yang sama, maka pers harus memiliki hak atau Priveles tertentu yaitu hak kritik,hak kontrol dan hak koreksi.
Lalu di mana kebobrokan Politik itu, telah difahami bersama bahwa pers dan media ialah tolak ukur ketransparanan sebuah informasi yang harus di beritakan secara valid, tapi ini terkadang mendapat tekanan dan intervensi dari sebuah kekuatan politik, katakanlah kekuasaan yang bersifat diktator yang suka memperkosa dan melucuti baju suci sebuah ketrasnparanan dunia pers, sehingga terkadang melahirkan Janin kotor ( pemberitaan bohong) penuh kotroversial di kalangan public, dan terkadang sang pers pun tersalahkan.
Apa lagi di tahun 2020 ini di beberapa wilayah indonesia akan melaksanakan pilkada serentak, tentu saja, perang media menjadi senjata ampuh untuk memblow-up para candidat yang mau meningkatkan popularitas, tapi tentu saja sang jurnalis, pers dan mediapun di ikat pada satu kata kunci, kode etik jurnalistik, dimana hanya objek inilah yang bisa menjaga Nama besar pers dan media itu agar tidak ternodai oleh sebuah ke bobrokan politik kotor, yang mau instans tanpa proses. Dan di sini juga semuanya di uji tertang transparansi itu.
Aliansi Jurnalis indonesia mencatat tentang kebebasan pers di indonesia pada peringkat 132 di tahun 2014, peringkat 138 tahun 2015 , peringkat 130 di tahun 2016 dan peringkat 124 di tahun 2018, masi sangat stagnan.
Penyebab ialah bersumber dari produck politik, Iklim hukum, Undang undang dan Ekonomi, kita lihat dari sudut pandang hukum, ada sejumlah regulasi yang mengancam kebebasan pers seperti KUHP dan undang undang informasi dan transaksi elektronik( ITE) yang masi menyandra ke leluasaan pers itu.
Lalu segi hukum, ada 75 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama periode mei 2017 hinga mei 2018, semua tersebar di 56 tingkat kota dan 25 kasus tingkat provinsi.
Pers indonesia masih rawan dengan intervensi politik karena begitu banyak kepentingan politik menunggangi Independensi tinta suci (pers) di negeri ini, problem ini tidak hanya di indonesia tapi juga di dunia.
Mengapa ?? kita pahami bersama “siapa yang bisa menguasai media dia bisa menguasai dunia”, seperti di bahas pada buku’ when the Press Fail’, ia menceritakan tentang kerawanan dunia pers Amerika yang di intervensi secara politik, tentu kita pahami bersama, bagaimana negara adidaya tersebut sering mengklaim dirinya sebagai negara yang bebas dari intervensi apa pun dan negara paling demokrasi di dunia, tapi pada kenyataannya berbanding jauh.
Pada bab pertama buku itu menjelaskan tentang ” Press Politic in america “, sebuah narasi yang di bangun oleh tekanan politik secara benang merahnya ,oleh rezim George W. Bush, yang memanipulasi perang irak, sebagai barang dagangan di media-media barat, dengan dalih Irak memiliki hubungan dengan Al Qaedah ( sebuah jaringan teroris berbahaya di dunia, menurut Amerika).
Semua ini hanya untaian kecil sebuah PR negara dan daerah di mana penempatan porsi pers itu tetaplah pada rana sivil society, controling, dan transparan.
Biarkan Pers dan media selalu vokal dalam mengkritisi pemerintahan tentu berdasarkan bukti data otentik dan kredibel serta menjalan kan fungsi Watchdog. Agar antara Pers dan dunia Politik bisa menjadi teman yang Se Muhrim sesuai dengan tatanan dan aturan aturan yang ada.***