Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo
Solo adalah bagian sejarah dari perkembangan media dan karenanya beralasan jika pada 23-25 Nopember 2017 diselenggarakan untuk pertamakalinya di Solo dua agenda besar yaitu Konggres X Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan juga Festival Media – Fesmed AJI. Terkait ini, sejumlah tema dan acara diselenggarakan di sejumlah lokasi, termasuk juga di Universitas Muhammadiyah Solo. Ada banyak pembahasan yang disampaikan, termasuk juga ancaman munculnya media abal-abal. Argumen yang mendasari adalah tahun politik yaitu pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019 yang identik dengan iklan. Data tahun 2014 pada Q1 saja belanja iklan mencapai Rp.26 triliun atau naik 15 persen dibanding Q1 2013 dan periode 2013 belanja iklan Rp.106,8 triliun. Data dari Nielsen dominasi belanja iklan kategori pemerintahan dan parpol di semua media naik 89 persen dan alokasi dari Partai Golkar tertinggi Rp.170,13 miliar, Gerindra Rp.147,61 miliar, Demokrat Rp.135,96 miliar dan Nasdem Rp.115,9 miliar. Sebaran iklan tersebut di tv 69 persen (naik 19 persen), koran 29 persen (naik 9 persen) dan ada peralihan belanja iklan dari koran ke tv sehingga porsi di koran turun 2 persen sedangkan di majalah dan tabloid berkurang 1 persen dengan porsi tetap sama 2 persen.
Belanja iklan di tahun politik diyakini meningkat pesat terutama dikaitkan adanya siklus 5 tahunan pesta demokrasi. Oleh karena itu, dipastikan bahwa tahun politik tidak hanya terjadi perang survei tapi juga perang media karena masing-masing caleg dituntut total mengkampanyekan dirinya agar menarik simpati. Bahkan, perang media tidak bisa lagi dihindari karena parpol – caleg pada akhirnya akan menggunakan semua cara untuk memenangkan pesta demokrasi, baik di pilkada serentak atau pilpres. Oleh karena itu, pemasaran politik tidak bisa diabaikan dan karenanya ada sinergi antara pemasaran politik dan eksistensi media dengan target adalah masyarakat sebagai simpatisan.
Kekuatan
Yang justru menjadi pertanyaan adalah bagaimana parpol – caleg melihat realitas ini. Di satu sisi, penetapan parpol yang lolos seleksi dapat mereduksi keragaman parpol dan caleg sehingga ini mempermudah masyarakat sebagai calon pemilih melakukan seleksi alamiah dan di sisi lain global information society juga tidak bisa lagi dihindari sehingga informasi dan media adalah komponen yang saling melengkapi. Imbas dari transformasi ini adalah semakin jamaknya citizen journalism sehingga masyarakat tidak lagi menjadi sekedar obyek pemberitaan, tapi juga menjadi subyek dari maraknya media, baik bentuk online atau offline (konvensional). Bagaimana media dan pemasaran politik mengambil peran dari pesta demokrasi terutama dikaitkan dengan peran strategis media, tidak hanya sebagai pilar penegakan demokrasi tapi juga bagian pencerdasan kehidupan masyarakat? Terkait ini, media hanya salah satu wahana untuk menyampaikan aspirasi dan inspirasi publik, tidak melulu informasi berbasiskan pesta demokrasi saja, tapi juga eksistensinya untuk menyuarakan kebenaran dalam konteks demokrasi.
John Lloyd (2005) dalam artikelnya berjudul: ‘What the media are doing to our politics’ yang dimuat pada Journal of Communication Management menegaskan bahwa politik di banyak negara tidak bisa terlepas dari eksistensi sorotan media karena media diyakini menjadi salah satu tonggak penegakan demokrasi dan di sisi lain media juga tidak dapat terhindar dari konflik kepentingan dengan pemberitaan politik itu sendiri. Alasan utama yang mendasari karena tidak jarang politikus menjadi pemilik modal dari industri media sehingga bias kepentingan menjadi semakin runcing. Oleh karena itu pemberitaan media setahun terakhir tidak bisa terlepas dari isu politik. Ironisnya tidak ada media satupun di republik ini yang tidak memberitakan kasus korupsi. Artinya, hampir tiap hari selalu ada berita kasus korupsi yang melibatkan politisi. Bahkan isu SN menjadi barometer tentang isu aktual media.
Hebatnya lagi ketika ada beberapa raja media yang memiliki kekuatan terhadap parpol ikut bersuara maka media tidak lagi menjadi independen, tapi justru berubah warna dari aspek kepentingan si pemilik modal. Artinya, ketika raja media beraliran kuning, secara tidak langsung corong media yang dibawah naungannya beraliran kuning. Fakta ini juga berlaku ketika si raja media beraliran biru atau merah atau apalah warna parpolnya maka corong media menjadi dominan kepada kepentingan aliran partai dan akibatnya tuntutan independensi media tidak bisa lagi terjaga dan hal ini adalah ancaman dari hegemoni riil terkait netralitas media sebagai salah satu komponen pencerdasan kehidupan masyarakat
Kalkulasi
Bagaimanapun juga, di era informasi dan kuatnya arus global information society, maka kiprah dan eksistensi media tidak bisa lagi dibendung. Citizen journalism juga semakin berkembang secara aktif sehingga masyarakat tidak bisa lagi dipandang sebagai obyek dari pemberitaan media, tetapi mereka juga dapat aktif langsung sebagai narasumber dan subyek. Bahkan, kasus meme yang diidentikan sindiran politik menjadi bagian dari fakta kecerdasan dan kedewasaan berpolitik. Oleh karena itu, tidak ada lagi istilah ketinggalan berita ketika masyarakat mau mengakses semua sumber informasi baik itu melalui situs blog, media online, BBM, whatsapp atau sumber informasi lainnya. Artinya, real time online atas semua berita dan informasi kini benar-benar tercipta. Hal ini menunjukan bahwa parpol dan caleg memiliki banyak alternatif untuk melakukan pemasaran politik, termasuk didalamnya adalah pencitraan.
Ketika perang media pada pemasaran politik semakin besar maka sebenarnya tidak perlu gerah dengan pemberitaan yang dilakukan media. Bahkan, semua pihak juga tidak perlu latah menggunakan delik pencemaran nama baik untuk mengerdilkan peran pers sebagai salah satu pilar penegakan demokrasi. Media dan pers dalam arti luas tentu akan selalu menyampaikan aspirasi dan informasi dari dan ke publik, apapun hasil yang diberitakan, baik itu buruk ataupun baik. Jika pemberitaan itu baik, maka hal ini bisa disebut sebagai publikasi positif yang berlanjut menjadi word-of-mouth dan sebaliknya jika pemberitaan itu buruk, maka ini bisa disebut kritik. Tidak mungkin media akan melulu menyajikan berita buruk karena ada roh yang mengharuskannya seimbang. Selain itu yang juga perlu dipahami tidak pernah ada media yang bersifat oposisi. Fakta ini memperkuat argumen bahwa peran media dalam pemasaran politik semakin penting dan siap mendulang dari belanja iklan di tahun politik.*Harian Ekonomi Neraca