LANSUNG SAJA, tanpa banyak berbasa-basi tulisan ini akan saya awali dengan sebuah catatan sejarah dimana –KARL J.PELZER– dalam bukunya PIONEER SETTLEMENT IN THE ASIATIC TROPICS (Studies in Land Utilization and Agricultural Colonization in Southeastern Asia) menuliskan — In addition to Belitang, the residency of Palembang had another colony 20 kilometers from the town of Locboeklinggau in the subdivision of Moesihoeloe, known as the Toegoemoeljo colony (Map, Fig. 164). Like Belitang, it was established in 1937. Its area comprised 35,000 hectares, of which only 6,575 hectares were irrigable, a small proportion as compared with that of Belitang or Sockadana. Its land, which belonged to the marga of Proatin Lima, was to be irrigated with water from the Klingi River (Fig. 150). The marga population was to receive 2,735 hectares of irrigated land; hence only 3,840 hectares would be available for the Javanese. The main canal, which was to be 3.15 kilometers in length, required a special kind of construction to prevent heavy losses of water in the sandy soils. The whole irrigation system of this colony was to have been completed by the end of 1942 at an estimated cost of 765,000 guilders. In October 1940 this project had 15 desas, according to an oral statement by the controleur at Locboeklinggau. Six hundred and fourteen families had arrived in 1937, 859 in 1938, 423 in 1939, and 590 in 1940. An additional 2,500 families would fill the colony completely.
As in Belitang, the Javanese colonists came under the marga laws, although in 1940 the Javanese assistant wedana had not yet been replaced by the local pasirah. Marga taxes, which the settlers had to pay by the beginning of the third year, amounted to two guilders per family, plus one picul 01 rice, which went to the lurah as his remuneration(Figs. 152 and 153). In other Javanese villages the lurah received a piece of land, the so-called ambtsvcld, as remuneration, but this system was not carried over to the marga of Proatin Lima. ( Sumber = https://archive.org/stream/pioneersettlemen033456mbp/pioneersettlemen033456mbp_djvu.txt )
Dari bagian buku tersebut, tergambar bahwa koloni Tugumulyo berdiri pada tahun 1937, pada area yang meliputi seluas 35.000 Ha, dimana pada awal terbentuk wilayah yang dapat diairi adalah hanya seluas 6.575 Ha, dan kemudian baru dapat diairi seluruhnya pada akhir tahun 1942 (irigasi watervang ) — yang pada saat ini masih berdiri dengan kokoh) dengan perkiraan biaya sebesar 765.000 gulden (mata uang Hindia Belanda). Pada awalnya Tugumulyo adalah wilayah koloni keresidenan Palembang yang masuk dalam sub divisi Musi Ulu, selain itu terdapat juga wilayah koloni Belitang dalam Divisi Komering Ulu.
Baik Belitang maupun Tugumulyo terdapat sebuah kesamaan yang dijelaskan dalam Buku tersebut yang di istilahkan sebagai — A TYPICAL JAVANESE AGRICULTURAL COLONY– (Koloni Pertanian dari Daerah Jawa).
Dalam buku tersebut tidak dijelaskan secara rinci proses kolonisasi di wilayah Tumulyo, akan tetapi untuk wilayah Belitang terdapat sebuat catatan bahwa — Peopling the Colony Colonists for Belitang were selected in Java on the basis of the so-called “ten com- mandments of colonization. ” Like the Soekadana colonists, they traveled by rail from their villages to Tandjocngpriok, the harbor of Batavia, then by steamer to Oosthaven, from there inland by the South Sumatra Railway to Martapoera in the Lampoeng Districts, and finally by bus to the colonization project (Figs. 123-127). The first group of colonists arrived on August 17, 1937. During 1937, a total of 250 families was brought to Belitang; in 1938, 550; in 1939, 1,506; and in 1940, 1,550. It was expected that, 860 families would come in 1941 —
Dapat digambarkan bahwa orang-orang koloni Belitang dipilih dari orang-orang suku Jawa, yang menempuh perjalanan dengan kereta api dari desa mereka ke Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia (Jakarta) kemudian dilanjutkan dengan meggunakan kapal uap ke Oosthaven (Sumber = Bandar Lampung, http://solo.tribunnews.com/2016/04/25/inilah-nama-daerah-di-indonesia-saat-penjajahan-belanda), kemudian melanjutkan perjalanan kembali melalui jalur kereta api Sumatera Selatan ke Martapura, untuk selanjutnya menggunakan bus ke daerah tujuan kolonisasi (yang besar kemungkinan dalam penyebarannya juga disebar ke wilayah Tugumulyo).
Sampai saat ini dua kolonisasi Hindia Belanda yakni Belitang dan Tugumulyo tersebut masih menjadi sentra penghasil beras di Sumatera Selatan, bahkan pernah mencapai masa kejayaannya saat Guberner Sumatera Selatan H. Syahrial Oesman (Periode 2003-2008) mencanangkan program Sumsel Sebagai Lumbung Pangan Nasional dan Produksi Beras Sumsel pada tahun 2005 surplus sebesar 463 ribu ton, dimana tentunya hal tersebut tidak terlepas dari capaian produksi beras dari Belitang dan Tugumulyo sebagaimana tercantum dalam Masterplan Lumbung Pangan Nasional (Sumber = http://bappeda.sumselprov.go.id/userfiles/files/84Masterplan%20Lumbung%20Pangan%20Sumsel.pdf ).
Kini wilayah koloni tugumulyo kita kenal juga dengan sebutan “merasi” yang nama desanya seringkali dilafalkan dengan Huruf A, B, C , dan beberapa desa dengan huruf abjad yang cukup populer semisal desa G. Mataram yang sangat terkenal dengan kelezatan menu tongseng-nya.
Tugumulyo mau tidak mau saat ini tengah mengalami pergulatan transformasi, dimana saat ini pembangunan sangat masif dilakukan yang dapat kita lihat mulai dari pembangunan dan pengembangan wilayah hunian serta juga wilayah perniagaan baru. Disatu sisi hal ini merupakan hal yang dilematis, dengan memperhatikan bahwa perkembangan jumlah penduduk tugumulyo sebanyak 45.658 jiwa dengan luas wilayah sebesar 6.770,91 Ha (Sumber = https://musirawaskab.bps.go.id/publication/2017/09/25/4f8ce0197e55a67dbeca22b1/kecamatan-tugumulyo-dalam-angka-2017.html ) , maka tentunya akan juga menggerus wilayah pertanian di daerah Tugumulyo.
Disamping itu, masifnya pembangunan kolam arus deras di wilayah Tumulyo, juga mempengaruhi potensi pertanian padi wilayah itu, karena terpengaruhnya debit air persawahan yang jauh dari lokasi irigasi primer atau sawah yang mendapat air dari saluran tersier. Hal inilah yang menjadi salah satu keluhan banyak petani di Tugumulyo dan bahkan menjadi salah satu konflik yang berkepanjangan (Sumber = http://sda.pu.go.id/bbwssumatera8/2018/02/19/konflik-air-daerah-irigasi-kelingi-tugu-mulyo-provinsi-sumatera-selatan/ ).
Oleh karena itulah, banyak para petani di Tugumulyo banyak yang dengan terpaksa merubah peruntukan lahannya, seperti kata pepatah “life must go on”, para petani harus memutar otaknya untuk memanfaatkan lahan yang mereka miliki sebagai sumber penghidupan bagi keluarganya. Tugumulyo telah bertransformasi, dari wilayah subur dengan persawahan yang menghijau dan makmur, kini telah berganti dengan bidang-bidang usaha baru semisal kuliner maupun spot-spot selfie “instagramable”, yang pada hakekatnya akan semakin menggerus potensi dan produksi persawahan di wilayah ini.
Sejatinya kita adalah negara agraris, bahkan tahun 1985 FAO pernah memberikan penghargaan atas keberhasilan Indonesia akan swasembada pangan. Saat ini bahkan kita tidak berani bermimpi untuk mewujudkan swasembada pangan, karena pemerintah terus menerus membuka keran impor beras meskipun kita mengalami surplus beras ( Sumber = https://www.cnbcindonesia.com/news/20190110130733-4-50025/sederet-alasan-kenapa-indonesia-masih-doyan-impor-beras ), yang menyebabkan murahnya harga beras di tingkat petani di pasaran dan juga akhirnya menyebabkan petani enggan menanam padi.
Melalui catatan ini, saya berpandangan bahwa alangkah eloknya jika Pemerintah daerah terus mendorong dan mengupayakan agar wilayah Tugumulyo dapat terus menjadi sentra penghasil beras di Sumatera Selatan, sebagaimana beras Belitang yang sampai saat ini terus digenjot produksinya oleh pemerintah daerah setempat bahkan didorong agar dapat masuk ke pasar nasional (Sumber = http://www.rmolsumsel.com/read/2018/11/28/104447/Tahun-Depan-Beras-Belitang-Masuk-Pasar-Nasional ).
Yang dibutuhkan petani saat ini adalah campur tangan pemerintah daerah untuk menggenjot ekonomi masyarakat melalui peningkatan produksi pertanian khususnya beras di Tugumulyo, dan tidak hanya sekedar mencari keriuhan dan kemilau “like” di media sosial.***